Kiai
Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan
berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan
tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren
sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan,
tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader
bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;,
dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan
kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan
nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang
ditransformasikan secara benar, dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk
menghadapi dinamika hidup dan modernitas.
Membaca
riwayat hidupnya,
kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan
dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren. Pesantren adalah
tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya. Dedikasinya kepada
pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah
diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya,
seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis
ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM
yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di
sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di
"singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Rintisan
pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja
telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang
tinggi dalam
Bidang
ekonomi rakyat.
Kredibilitas
keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh masyarakat, tidak saja
di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan terpilihnya beliau sebagai
Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional terbukti dengan terpilihnya
Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2000. Independensi dan
keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai
Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi berbagai problem sosial
menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun
(seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411), tapi juga menunjukkan kearifan
pribadinya.
Dia
lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH. Mahfud Salam
dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia memulai pendidikannya di
Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul
Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri,
Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan
Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d belajar di pesantren Sarang,
Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada pertengahan tahun 1960-an, Sahal
belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara
itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen
(1951-1953).
Hampir
seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai Sahal
sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia menjadi dosen
pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi dosen di
Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak. Syariah LAIN
Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor Institut Islam
Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi kolomnis tetap di
majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap di Harian Suara
Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am
NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap menjadi pengasuh
pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di organisasi massa
keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai NU Cabang Pati pada
1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan tertinggi dalam organisasi ini,
yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk periode 1999-2004. Dalam waktu yang
hampir bersamaan dia terpilih menjadi Ketua Umum MUI Pusat untuk periode
2000-2005. Dalam posisinya sebagai Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio
menjadi Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi
memberikan fatwa, kontrol dan rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan
syariah dan lembaga bisnis syari'ah.
Kiai
Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi
yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah
ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian
karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial
(Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).
Pengembangan
Ilmu Fikih
Pemikiran
KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya menunjukkan bahwa
dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan
pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah, penanganan zakat, dinamika
dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada masalah pengentasan kemiskinan. Di luar
itu semua, kontribusi pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah
tentang fikih sosial-kontekstual. Concern utamanya adalah bagaimana fikih tetap
mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Dalam
kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali fikih sosial dari pergulatan nyata
antara "kebenaran agama" dan realitas sosial yang senantiasa timpang.
Menurutnya, fikih selalu menjumpai konteks dan realitas yang bersifat
dinamis.
\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar